This Great Salvation/The Fruits of Justification (I)/id
From Gospel Translations
Contents |
Buah-Buah Pembenaran (I)
Apakah Anda pernah memperhatikan betapa sedikitnya buku-buku Kristen yang memiliki cover menarik? Oh, ada beberapa, tentu – seperti buku Franky Schaeffer A Time for Anger, dengan lukisan dari Pieter Brueghel “Orang Buta Menuntun Orang Buta.” Lukisan itu begitu menggugah saya sehingga saya mencari kopinya dan membingkainya untuk kantor saya. Dan ada juga gambar-gambar mengagumkan di sampul Chronicles of Narnia milik C.S. Lewis yang siap membawa Anda ke sana. Salah satu sampul buku yang paling menarik yang pernah saya lihat tampak di sebuah seri pamflet. Illustrasinya menunjukkan seorang pria sedih dan kesepian yang sedang memandang kosong keluar jendela sebuah sel penjara. Saat Anda melihat, Anda menjadi sadar bahwa pintu selnya terbuka di belakangnya. Tetapi ia tidak memperhatikannya. Kalau saja ia menoleh ia akan melihat bahwa ia dapat berjalan keluar seperti orang bebas. Tetapi ia tetap terpenjara karena ketidaktahuannya sendiri.
Intinya cukup jelas. Banyak orang Kristen – bukan, kebanyakan orang Kristen – adalah seperti pria ini. Secara tragis mereka tidak menyadari kebebasan dan hak-hak lebih yang adalah milik mereka melalui injil Yesus Kristus. Mereka adalah orang-orang kudus yang tidak perlu terpenjara.
Merubah gambaran ini sedikit saja, sejumlah budak terus hidup seperti sebelumnya bahkan setelah Proklamasi Emansipasi. Sebagian mereka tetap berada di kegelapan tentang dimana mereka sekarang berdiri. Sebagian lain, walaupun menyadari kebebasan mereka, tidak pernah berjalan keluar tempat perbudakan karena takut. Kebebasan menuntut keberanian dan membawa bersamanya tanggung jawab yang besar.
Kelihatannya injil hanya membuat perbedaan kecil dalam hidup orang Kristen yang tak terhitung jumlahnya. Meskipun mereka telah sungguh dibenarkan dan penghukuman telah dibatalkan, masalah yang sama sepertinya mengganggu mereka. Ketakutan, kebiasaan, dan keraguan yang sama yang mengkarakterisasi hidup mereka sebelum mereka percaya Kristus masih tetap memegang kendali. Mengapa? Menurut saya satu alasan terbesar adalah ketidaktahuan. Bagi tidak sedikit orang Kristen, Alkitab masih menjadi buku tertutup. Fakta bahwa warisan besar telah disediakan bagi mereka yang dibenarkan oleh Allah seperti belum menjadi jelas buat mereka.
Pengetahuan akan Firman Tuhan yang terus bertumbuh adalah sangat vital. Di saat Anda membaca, menghafal dan merenungkan Firman Tuhan, Anda akan mulai merasakan penyediaan yang mengagumkan yang diberikan Allah. Dua bab terakhir dari buku ini akan mengekplorasi buah-buah dari pembenaran kita, warisan kita di dalam Kristus. Sisa keraguan yang masih ada di pikiran kita mengenai tujuan dan takdir Tuhan harus dijelaskan saat kita menginventori keuntungan-keuntungan dari keselamatan yang agung ini.
Turun dari Kursi Kayu
Gambaran sekitar doktrin pembenaran datang langsung dari pengadilan hukum, seperti yang kita pelajari di bab sebelumnya. Allah, Pemberi hukum dan Hakim dari seluruh bumi, telah mengeluarkan sebuah deklarasi yang membebaskan orang berdosa yang terhukum dari semua kesalahan. Pembenaran memberi kita status baru di hadapan Allah dan mengampuni kita dari semua dosa dan hukumannya. Walaupun kita adalah orang-orang kriminal tertuduh yang sedang menunggu dalam barisan Hukuman Mati yang tidak bisa dihindari, Sang Hakim mengampuni kita dan menghancurkan catatan-catatan kriminal kita. Betapapun mengagumkannya hal ini, ada aspek pembenaran yang bahkan lebih mengagumkan.
Saya pernah berada di ruang sidang, dan itu bukanlah tempat yang penuh keceriaan. Anda tidak dapat menjadi diri Anda sendiri. Adalah tidak pantas untuk tertawa keras atau mengangkat kaki Anda. Tidak seorang pun berpikir untuk bertemu hakim setelah sidang untuk makan es krim ataupun menonton pertandingan bola basket. Ada peraturan perilaku tertentu yang harus dipertahankan, formal dan mengintimidasi – dan memang dimaksudkan begitu. Hal ini tidak kurang benar di hadirat Hakim yang berdaulat.
Tetapi ada perbedaan yang sangat besar antara pengadilan di surga dan di bumi. Setelah menyatakan kita bebas dari segala tuduhan dan penghakiman, Tuhan memilih untuk tidak pergi ke ruangan-Nya, seperti yang dikira. Tetapi, Ia mendobrak semua standard dengan turun dari bangku kayu, mengumpulkan kita di tangan-Nya, dan lalu menggendong kita dari ruang sidang ke ruang keluarga.
Memiliki Allah sebagai Bapa kita adalah sungguh mengagumkan. Firman Tuhan telah menjelaskan bahwa kita berhubungan dengan Tuhan dengan intim dan secara legal. Bukan itu saja, tetapi untuk menjadi anak-anak-Nya mendatangkan hak-hak khusus. Paulus mendeskripsikannya seperti ini: “Roh itu bersaksi bersam-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah. Dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris – orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus” (Rom 8:17).
Sementara pembenaran bagi kita adalah pemberian gratis, pembenaran itu dibayar Allah dengan Anak-Nya. Pembenaran itu dibayar oleh nyawa Anak-Nya. Dan pembenaran itu dibayar oleh keangkuhan kita, karena satu-satunya cara untuk menerima pemberian ini adalah dengan datang kepada Tuhan dalam kerendahan hati dan pertobatatan iman.
Apa Semua Ini
Anak Allah, Ahli Waris Allah, Ahli Waris bersama Kristus. Apa arti semua itu? Mari kita bangun satu fakta penting. Yesus Kristus, Anak tunggal Allah, adalah ahli waris Bapa yang sah dan sebenarnya. Kalau ada warisan yang kita miliki itu hanya karena kita berada di “dalam Kristus” (Ef 2:7). Apalagi, Kristus sendiri adalah warisan ini. Dia adalah damai kita, Dia adalah kebenaran kita, pengharapan kita, penyucian dan penebusan kita. Di dalam Dia tersembunyi semua harta hikmad dan pengetahuan. Dialah kebangkitan dan hidup. Hal terbesar yang kita akan pernah terima dari Allah adalah Yesus sendiri.
Adalah juga penting untuk memahami bahwa keselamatan datang bukan melalui sebuah doktrin melainkan melalui sebuah Individu. Kita tidak diselamatkan oleh pembenaran, tetapi oleh Yesus. Waktu kita mengambil waktu untuk mempelajari Firman Tuhan kita menghadapi resiko menjadi seorang ahli doktrin tetapi tidak kompeten dalam pengetahuan sejati akan Tuhan kita. Dan mengenal Tuhan adalah segalanya.
Seorang kawan saya mengatakan pada saya cerita berikut ini tentang Scott McGregor, orang Kristen berdedikasi dan seorang pelempar bola baseball kidal yang terkenal untuk Baltimore Orioles di tahun 70 dan 80an. Suatu ketika, di satu momen genting di dalam permainan, Scott menemukan dirinya berhadapan dengan seorang pemukul bola berbahaya dengan orang-orang pencetak angka. Ia mengambil waktu cukup untuk mempelajari situasi ketika seorang wanita tidak sabar di kotak tempat duduk di belakang kandang pemain Orioles berteriak, “Yesus Kristus! Lempar bolanya!”
Bukan tidak umum untuk mendengar nama Tuhan digunakan sembarangan di permainan bola. Tetapi dalam peristiwa ini McGregor begitu tersentak sehingga ia hampir kehilangan konsentrasi. Setelah mengembalikan dirinya sendiri, ia dapat melempar dengan benar dan pemukulan bola berakhir. Lalu ia melakukan sesuatu yang sangat berbeda, sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh pemain. Ketika ia berjalan kembali ke kandang pemain ia menatap langsung ke wanita tadi dan bicara dengannya. Dalam nada yang terganggu namun lembut, penuh keprihatinan terhadap wanita itu dan Tuhannya, ia berkata, “Ibu, kalau kamu sungguh mengenal Dia, kamu tidak akan pernah menyebut nama-Nya seperti itu.”
McGregor mendemonstrasikan bahwa Kekristenan adalah lebih dari sekedar sebuah kebenaran untuk dipercayai. Kekristenan adalah sebuah kehidupan untuk dijalani dan, di atas segalanya, satu Tuhan untuk dicintai.
Waktu memikirkan sesuatu seluas, seajaib warisan yang kita miliki di dalam Kristus, digambarkan Paulus sebagai “kekayaan kasih karunia-Nya yang melimpah-limpah” (Ef 2:7), sangat sulit untuk mengetahui dimana harus mulai. Menariknya, Paulus juga memiliki masalah yang sama. Di dalam suratnya kepada jemaat di Efesus, ia begitu terbawa oleh implikasi pembenaran yang begitu besar. Saat ia berusaha menghubungkan semua yang Tuhan telah lakukan dan sedang lakukan di pasal pertama, ia mulai dengan kalimat di ayat tiga yang berakhir sampai sebelas ayat kemudian. Secara tata bahasa memang tidak cantik, namun hatinya yang penuh mengalir memberi kesaksian akan anugerah Tuhan yang tidak terselami.
Perikop berikut dari surat Paulus kepada jemaat di Roma menyediakan titik mula yang sangat bagus “Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus. Oleh Dia kita juga beroleh jalan masuk oleh iman kepada kasih karunia ini. Di dalam kasih karunia ini kita berdiri dan kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah” (Rom 5:1-2). John Stott menjelaskan pentingnya perikop ini:
- Pasal-pasal awal dari [kitab Roma] didedikasikan untuk kebutuhan dan jalan pembenaran. Semua itu bertujuan menjelaskan bahwa semua manusia adalah berdosa di bawah penghakiman Allah yang adil, dan dapat dibenarkan hanya melalui penebusan yang di dalam Yesus Kristus – melalui anugerah semata, melalui iman saja. Di poin ini, setelah membeberkan kebutuhan dan penjelasan jalan pembenaran, Paulus meneruskan dengan menggambarkan buah-buahnya, hasil dari pembenaran dalam hidup sebagai anak dan ketaatan di dunia dan kehidupan lanjut yang penuh kemuliaan di surga (penekanan ditambahkan).[3]
Bab ini akan melihat tiga buah dari pembenaran: damai dengan Allah, pengampunan dosa, dan proses penyucian. Di bab terakhir buku ini kita akan mengkaji pengadopsian kita di dalam Kristus serta pengharapan kita akan kemuliaan di masa depan.
Damai dengan Allah
Perdamaian dengan Allah menggarisbawahi semua yang lain yang kita terima dalam Kristus. Perdamaian ini adalah hadiah yang menaruh berkat-berkat lain dalam perspektif. “Urusan utama dari injil Kristen adalah bukan untuk memberi kita berkat,” tulis D. Martyn Lloyd-Jones. “Tujuan utamanya adalah untuk mendamaikan kita dengan Allah.”[4] Berdamai dengan Allah berarti kita berada di posisi perujukan dengan-Nya. Pernyataan pembenaran telah menjauhkan semua halangan antara Allah dan manusia. Walau tentu saja ada yang namanya damai dari Allah yang subyektif (yang bisa dirasakan), apa yang ada di benak Paulus dalam Roma 5:1 adalah fakta obyektif bahwa injil telah menghapuskan segala sesuatu yang memisahkan kita dari Allah.
Untuk mendamaikan berarti menyatukan apa yang telah terpisah karena pemusuhan. Contoh utama dari arti ini ditemukan di kotbah Stefen kepada Sanhedrin ketika ia menceritakan kembali peristiwa kehidupan Musa: “Pada keesokan harinya ia muncul pula ketika dua orang Israel sedang berkelahi, lalu ia berusaha mendamaikan mereka, katanya: Saudara-saudara! Bukankah kamu ini bersaudara? Mengapakah kamu saling menganiaya?” (Kis 7:26). Versi Alkitab King James menerjemahkan “mendamaikan” di konteks ini menjadi “membuat mereka satu kembali.” Kata Yunani yang dipakai adalah bentuk kata kerja dari kata yang biasa diterjemahkan “damai.” Apa yang penting bagi kita untuk diingat adalah bahwa sekarang, dari titik pandang Allah, tidak ada lagi permusuhan antara Allah dan mereka yang telah dibenarkan. Amarah dan murka-Nya terhadap dosa telah diekspresikan dengan adil dan dipuaskan penuh di Salib. Perseteruan telah berakhir. Perdamaian telah dibuat.
Tidak hanya konflik telah diselesaikan, tetapi semua masalah hukum yang berasal dari permusuhan sebelumnya telah dihapuskan, tidak pernah muncul lagi: “Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi merkea yang ada di dalam Kristus Yesus…Siapakah yang akan menggugat orang-orang pilihan Allah? Allah, yang membenarkan mereka?” (Rom 8:1,33). Kalau pengadilan tertinggi di jagad raya ini telah menyatakan kita benar, tidak ada gugatan yang bisa menempel.
Berhati-hatilah bahwa frase “tidak ada penghukuman” tidak berarti “tidak ada tuduhan.” Kita telah menyinggungnya di bab pertama. Musuh jiwa kita meneruskan pekerjaan kotornya menyebarkan kata-kata yang melecehkan dan menembakan anak panah api, dan sering terjadi kita salah mengira pembetulan dan teguran Tuhan sebagai suara tuduhan iblis. Tetapi kenyataan bahwa Yesus telah mengambil tempat kita berarti kita tidak akan pernah harus berhadapan dengan penghukuman di penghakiman akhir. “Siapakah yang akan menghukum mereka? Kristus Yesus, yang telah mati? Bahkan lebih lagi: yang telah bangkit, yang juga duduk di sebelah kanan Allah, yang malah menjadi Pembela bagi kita?” (Rom 8:34). Dia yang satu-satunya memiliki otoritas untuk menghukum untuk selamanya telah memihak pada kita.
Mengetahui kita telah didamaikan dengan Allah membawa ketenangan bagi pikiran kita. Ini memampukan kita untuk mengalahkan rasa kuatir dan takut. Bahkan bila seluruh dunia melawan kita, kita tetap aman dalam Kristus. “Janganlah kamu takut terhadap mereka yang dapat membunuh tubuh dan kemudian tidak dapat berbuat apa-apa lagi,” Yesus menjelaskan kepada murid-murid-Nya, yang telah ditetapkan untuk menghadapi perlawanan hebat. “Aku akan menunjukkan kepadamu siapakah yang harus kamu takuti. Takutilah Dia, yang setelah membunuh, mempunyai kuasa untuk melemparkan orang ke dalam neraka” (Luk 12:4, 5). Allah, satu-satunya yang berharga untuk kita takuti, telah berinisiatif mengadakan perjanjian damai kekal dengan kita. Untuk orang Kristen yang dibangun di dalam kebenaran ini, bahkan ketakutan akan maut dikalahkan karena ancaman penghukuman tidak lagi eksis.
Forgiveness of Sins
Closely related to reconciliation and peace with God is the forgiveness of sins. I may be overreacting, but it seems to me this precious truth is in danger of being despised. When people lament, “I know I’m forgiven, but…,” I can’t help thinking, You do not know you’re forgiven! If you really understood forgiveness your problem wouldn’t seem anywhere near as bad. As Lloyd-Jones implies in his statement on page 63, man’s greatest need is forgiveness. And if God has forgiven us, any other problem we have must be minor by comparison.
It is rare today to hear Christians rejoice in being forgiven by God. This is understandable in a culture that views low self-esteem as a greater problem than alienation from God. Yet our awareness of forgiveness directly affects our affection for God. That was the gist of our Lord’s response to self-righteous Simon the Pharisee. “He who has been forgiven little loves little,” Jesus told him (Lk 7:47). Conversely, those who have been forgiven much— or at least realize how much they have been forgiven— love much. Every one of us should be in that category.
Consider the following:
- Pardon for sin comes to us only on the basis of the shed blood of Jesus Christ. “In him we have redemption through his blood, the forgiveness of sins, in accordance with the riches of God’s grace” (Eph 1:7).
- God’s motive for forgiveness is his great love. His forgiveness is a free and merciful work. “God exalted him to his own right hand as Prince and Savior that he might give repentance and forgiveness of sins to Israel” (Ac 5:31)—and to Gentiles as well.
- Forgiveness of sins leads to a knowledge of salvation. Jesus came “to give his people the knowledge of salvation through the forgiveness of their sins” (Lk 1:77).
- Understanding forgiveness leads to a right fear of God. “If you, O Lord, kept a record of sins, O Lord, who could stand? But with you there is forgiveness; therefore you are feared” (Ps 130:3-4).
- God’s forgiveness is thorough. “I, even I, am he who blots out your transgressions, for my own sake, and remembers your sins no more” (Isa 43:25).
The following story, recounted by Becky Pippert in her book Hope Has Its Reasons, shows the power of forgiveness in one woman’s life. It’s worth quoting at length:
“Several years ago after I had finished speaking at a conference, a lovely woman came to the platform. She obviously wanted to speak to me and the moment I turned to her, tears welled up in her eyes. We made our way to a room where we could talk privately. It was clear from looking at her that she was sensitive but tortured. She sobbed as she told me the following story.
“Years before, she and her fiance (to whom she was now married) had been the youth workers at a large conservative church. They were a well-known couple and had an extraordinary impact on the young people. Everyone looked up to them and admired them tremendously. A few months before they were to be married they began having sexual relations. That left them burdened enough with a sense of guilt and hypocrisy. But then she discovered she was pregnant. ‘You can’t imagine what the implications would have been of admitting this to our church,’ she said. ‘To confess that we were preaching one thing and living another would have been intolerable. The congregation was so conservative and had never been touched by any scandal. We felt they wouldn’t be able to handle knowing about our situation. Nor could we bear the humiliation.
‘So we made the most excruciating decision I have ever made. I had an abortion. My wedding day was the worst day of my entire life. Everyone in the church was smiling at me, thinking me a bride beaming in innocence. But do you know what was going through my head as I walked down the aisle? All I could think to myself was, ‘You’re a murderer. You were so proud that you couldn’t bear the shame and humiliation of being exposed for what you are. But I know what you are and so does God. You have murdered an innocent baby.’
“She was sobbing so deeply that she could not speak. As I put my arms around her a thought came to me very strongly. But I was afraid to say it. I knew if it was not from God that it could be very destructive. So I prayed silently for the wisdom to help her.
“She continued. ‘I just can’t believe that I could do something so horrible. How could I have murdered an innocent life? How is it possible I could do such a thing? I love my husband, we have four beautiful children. I know the Bible says that God forgives all of our sins. But I can’t forgive myself! I’ve confessed this sin a thousand times and I still feel such shame and sorrow. The thought that haunts me the most is how could I murder an innocent life?’
“I took a deep breath and said what I had been thinking. ‘I don’t know why you are so surprised. This isn’t the first time your sin has led to death, it’s the second.’ She looked at me in utter amazement. ‘My dear friend,’ I continued, ‘when you look at the Cross, all of us show up as crucifiers. Religious or nonreligious, good or bad, aborters or nonaborters—all of us are responsible for the death of the only innocent who ever lived. Jesus died for all of our sins—past, present, and future. Do you think there are any sins of yours that Jesus didn’t have to die for? The very sin of pride that caused you to destroy your child is what killed Christ as well. It does not matter that you weren’t there two thousand years ago. We all sent him there. Luther said that we carry his very nails in our pockets. So if you have done it before, then why couldn’t you do it again?’
“She stopped crying. She looked me straight in the eyes and said, ‘You’re absolutely right. I have done something even worse than killing my baby. My sin is what drove Jesus to the Cross. It doesn’t matter that I wasn’t there pounding in the nails, I’m still responsible for his death. Do you realize the significance of what you are telling me, Becky? I came to you saying I had done the worst thing imaginable. And you tell me I have done something even worse than that.’
“I grimaced because I knew this was true. (I am not sure that my approach would qualify as one of the great counseling techniques!) Then she said, ‘But, Becky, if the Cross shows me that I am far worse than I had ever imagined, it also shows me that my evil has been absorbed and forgiven. If the worst thing any human can do is to kill God’s son, and that can be forgiven, then how can anything else—even my abortion—not be forgiven?’
“I will never forget the look in her eyes as she sat back in awe and quietly said, ‘Talk about amazing grace.’ This time she wept not out of sorrow but from relief and gratitude. I saw a woman literally transformed by a proper understanding of the Cross.”[6]
Forgiveness of sins is a critical concern. The greatest of the English Puritan theologians, John Owen, wrote a treatise on the subject that still stands as a classic. This exposition of Psalm 130 is over three hundred pages long, although the psalm itself has only eight verses. The editor’s preface yields some insight into the circumstances surrounding the work. It seems that as a young man Owen had only a superficial awareness of God’s forgiveness, “until the Lord was pleased to visit me with a sore affliction, whereby I was brought to the mouth of the grave, and under which my soul was oppressed with horror and darkness; but God graciously relieved my spirit by a powerful application of Psalm 130:4 from whence I received special instruction, peace and comfort, in drawing near to God through the Mediator, and preached thereupon immediately after my recovery.”[7]
Psalm 130:4, as we saw above, shows that fearing the Lord is the natural outgrowth of embracing his forgiveness. While we’re young and healthy other problems can seem so much more important. But when our eyes are opened to the affairs of eternity, knowing whether or not we are truly forgiven will make all other matters pale into insignificance.
Cite error:
<ref>
tags exist, but no <references/>
tag was found