How Can I Change?/Caught in the Gap Trap/id
From Gospel Translations
“Semua yang kini sedang bergumul melawan amarah, silakan maju ke depan. Kami mau berdoa untuk anda.”
Waktu itu hari Minggu pagi. Saya baru saja menyelesaikan khotbah mengenai amarah, dan saya mau memberikan waktu bagi Roh Kudus untuk bekerja di dalam hati orang-orang yang hadir saat itu. Namun saya terkejut melihat respon yang diberikan.
Sekitar dua puluh orang-orang yang rendah hati maju ke depan mimbar—untuk ukuran gereja kami, jumlah ini cukup besar. Namun, bukan jumlahnya yang menarik perhatian saya. Yang menarik perhatian saya adalah orang-orang yang maju ke depan. Sembilan belas dari dua puluh orang yang maju ke depan adalah para ibu muda! (Amarah sangat rentan dialami oleh para ibu, sejauh yang saya ketahui.) Sebagai gembala, saya tahu bahwa para wanita ini adalah orang kristen yang sungguh-sungguh. Apa yang menyebabkan mereka maju ke depan adalah rasa frustasi mendalam mereka yang dialami karena mereka merasa terperangkap di tengah -- zona antara standar Alkitabiah yang berkaitan dengan penguasaan diri, dan kegagalan mereka untuk hidup menurut standar Alkitabiah itu.
Entah masalah itu berkaitan dengan amarah, ketakutan, kekuatiran, atau suatu hal yang umum, seperti kemalasan, kita semua sudah mengalami perasaan terperangkap di tengah, antara siapa diri kita saat ini, dan siapa diri kita seharusnya. Alkitab menyatakan bahwa kita adalah ciptaan baru, para pemenang, penakluk. Dan kita bukan hanya sekedar pemenang, melainkan lebih dari seorang pemenang (Roma 8:37). Kadang kita memang merasa seperti itu. Namun yang lebih sering, kita mengalami kesulitan melihat suatu hal yang melampaui kelemahan-kelemahan dan kegagalan-kegagalan kita. Dan yang menariknya, justru di saat-saat seperti ini, ayat dalam Matius 5:48 mendadak jadi tampil ke permukaan: “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.”
Perlahan kita menghela nafas dan berkata,Hal itu tidak akan pernah menjadi kenyataan.
Saya menyebut kondisi ini sebagai “perangkap tengah”. Berikut adalah cara kerjanya: Sebagai orang kristen, kita semua memiliki pengetahuan mengenai hal-hal yang diharapkan Allah dari diri kita. Namun pada kenyataannya, apa yang kita capai jauh dari apa yang -kita tahu- sebenarnya harus kita capai. Maka, terciptalah suatu jarak antara apa yang kita tahu harus kita lakukan, dan performa kita yang sesungguhnya. Apabila jarak antara keduanya terlampau jauh, kita bisa saja langsug di cap sebagai seorang munafik.
- Jay Adams
Situasi ini adalah suatu hal yang nyata dalam kehidupan kekristenan. Bagi sebagian besar, tidak dibutuhkan orang lain untuk memberitahu kita mengenai ketidak-konsistenan di dalam hidup kita—kita semua terlalu manyadarinya. Kesadaran itu seharusnya membuat kita menjadi semakin rendah hati dan menggantungkan diri kepada Tuhan supaya kita bisa berhasil menutup ketidak-konsistenan itu. Namun biasanya momen ‘terjebak di tengah’ ini muncul akibat ketidakpedulian kita akan doktrin atau ajaran mengenai pengudusan. Daripada menyadari kalau jarak ini ada sebagai pertanda bahwa kita membutuhkan pertolongan dari Allah saja, kita malah membiarkan jarak ini untuk menghukum kita, dan memperlambat kemajuan kita. Kita menjadi terjebak dalam pemikiran bahwa kita adalah seorang pecundang, bodoh, orang yang penuh kegagalan... dan mungkin saja bukan benar-benar seorang Kristen. Beberapa orang bahkan terperosok lebih jauh dalam ketidaktaatan. Mereka yang terjebak di situasi seperti ini (dan pada level tertentu, kita semua termasuk di dalamnya) mengalami penderitaan (yang sebenarnya tidak diperlukan) karena patah semangat.
Sebagai seorang gembala, salah satu tanggung jawab utama saya adalah membantu orang-orang agar bisa keluar dari jebakan ini. Saya sering menyampaikan pada orang-orang, “Hal itu tidak akan instan terjadi, dan membutuhkan usaha yang sungguh-sungguh, namun supaya bisa keluar dari jebakan itu tidaklah rumit. Dan percayalah, anda tidak akan kecewa melihat hasilnya.” Mungkin anda merasa bahwa anda sedang berada di posisi seperti ini. Jika demikian, kami yakin buku ini dapat menolong anda untuk menutup jarak yang ada antara siapa anda seharusnya di dalam Kristus dan siapa anda sebenarnya dalam kehidupan keseharian anda. Dapatkah anda membayangkan kehidupan dimana anda mematahkan kebiasaan-kebiasaan anda yang penuh dosa dan membuat kemajuan nyata dalam kehidupan rohani anda? kehidupan seperti itu sungguh mungkin adanya. Dan buku ini ditulis untuk menguatkan dan menyertai anda seiring dengan usaha anda untuk mencapai yang kehidupan seperti itu.
Diantara “Sekarang” dan “Yang Akan Datang”
Tidak diragukan, bahwa salah satu hal yang paling membuat kita frustrasi terkait dengan kehidupan kekristenan adalah kontradiksi yang nyata antara siapa kita di mata Allah, dan siapa diri kita dalam pendapat kita sendiri. Ambil contoh jemaat di Korintus, misalnya. Rasul Paulus pada satu titik meyakinkan mereka bahwa, “Kamu telah dikuduskan, kamu telah dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah kita.” (1 Korintus 6:11). Sepertinya berhenti sampai di situ saja, bukan? Sampai kita membaca surat kedua Paulus pada jemaat ini, yang isinya nyaris bertolak-belakang dengan yang pertama disampaikan: “Marilah kita menyucikan diri kita dari semua pencemaran jasmani dan rohani, dan dengan demikian menyempurnakan kekudusan kita dalam takut akan Allah” (2 Korintus 7:1).
Di pikiran saya, mungkin saja para jemaat di Korintus merasa bingung. Apakah mereka sudah disucikan... atau masih tercemar? sebenarnya dua-duanya berlaku untuk mereka, dan juga kita. Untuk menjelaskan hal itu, mari saya ajak anda untuk menyimak hal di berikut ini.
Kerajaan Allah itu adalah “saat ini” dan “yang akan datang”. Dalam beberapa hal, Kerajaan Allah berkaitan dengan masa kini, dan untuk beberapa hal lainnya, Kerajaan Allah berkaitan dengan masa mendatang. Allah kita telah menyatakan dan menunjukkan bahwa Kerajaan (atau hukum) Allah sudah bersinggungan dengan sejarah manusia: “Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu” (Lukas 11:20). Namun, Kerajaan Allah belum datang seutuhnya. Hal itu tidak akan terjadi sampai Yesus datang kembali dalam kuasaNya, ketika setiap lutut kan bertelut dan semua lidah mengaku bahwa Dialah Allah. Sampai hal itu terjadi, tanpa menyangkal kehadiran Kerajaan Allah yang ada di dalam dunia ini, kita berdoa, “Datanglah Kerajaan-Mu” (Matius 6:10)
Dengan demikian, Kerajaan Allah berjalan seiringan dengan kehidupan kita. Allah, lewat karya pembenaran-Nya, sudah menyatakan bahwa kita adalah orang-orang benar. Posisi kita di mata Allah sudah berubah. Masalah itu sudah diselesaikan sekali dan untuk selama-lamanya di Surga. Namun, di sisi surga lainnya (bumi), perubahan internal kita merupakan suatu proses yang sedang berjalan. Proses penyucian ini membuat saya sibuk sebagai seorang pribadi Kristen, dan juga memberikan saya banyak pekerjaan dan tugas sebagai seorang gembala.
Jadi, apakah kita sudah memiliki kemenangan di dalam Yesus atau belum? apakah kita para pemenang, atau apakah kita masih harus berjuang? Oscar Cullmann memberikan ilustrasi dari Perang Dunia ke-2, yang saya percaya dapat membantu kita menangkap hal yang kesannya bertentangan ini. [1]
Sejarah mencatat dua peristiwa besar yang menjadi pangkal berakhirnya Perang Dunia ke-2: D-Day dan VE-Day. D-Day terjadi pada 6 Juni 1944, ketika para pasukan Sekutu mendarat di Normandy, Perancis. Ini adalah titik balik dalam perang yang berlangsung; ketika pendaratan ini berhasil, nasib Hitler sudah sangat jelas. Pada dasarnya, perang sudah berakhir. Namun kemenangan total di Eropa (VE-Day) tidak terjadi sampai tanggal 7 Mei 1945 ketika pasukan Jerman menyerah di Berlin. Periode sebelas bulan ini dicatat sebagai salah satu periode pertumpahan darah terbesar sepanjang sejarah perang. Pertempuran-pertempuran terjadi di seluruh Perancis, Belgia, dan Jerman. Walaupun secara fisik para musuh sudah terluka, namun mereka tidak sepenuhnya menyerah.
Fakta ini, apabila kita tetap berusaha untuk mengingatnya, dapat membuat kita tidak patah semangat. Pertarungan masih berlangsung, namun peperangan utama sudah dimenangkan. Kesadaran akan karya pengorbanan Kristus yang telah dilakukan bagi kita sangat penting untuk memacu semangat moral kita seiring dengan usaha kita untuk mencapai suatu kekudusan hidup. Kita harus mempelajari dan merenungkan doktrin utama mengenai pembenaran sampai hal itu sungguh tertanam dalam kesadaran kita.
Butuh Obat Kumur?
Meskipun kita sudah dibenarkan sepenuhnya di dalam Kristus (D-Day), bukan berarti kita sudah sepenuhnya disucikan (VE-Day). Beberapa orang gagal memahami hal ini.
Pengajar Alkitab Ern Baxter menyampaikan kejadian yang terjadi saat Latter Rain Revival di akhir tahun 1940-an. Ada suatu ajaran menyimpang yang dinamakan “manifestasi anak-anak Allah”. Pada intinya ajaran itu menyampaikan doktrin yang menjanjikan kekudusan total di dalam hidup ini. Pada bentuk ekstrimnya, ajaran itu termasuk kepercayaan bahwa elit spiritual akan menerima tubuh kemuliaan sebelum kedatangan Kristus untuk kedua kalinya.
Pada sesi penutupan acara dimana Baxter menjadi pembicaranya, beberapa ‘anak-anak Allah’ muncul di pojok auditorium berbalutkan jubah putih. Ketika ia selesai menyampaikan Firman, mereka berjalan ke depan dan mulai mencoba untuk menarik pengikut-pengikut baru bagi doktrin mengenai kesempurnaan total yang mereka ajarkan. Ketika ia mengingat peristiwa itu, ia menyatakan, “Wanita yang menjadi kelompok di grup itu benar-benar membutuhkan Listerine (merek obat kumur). Bukan itu jenis kesempurnaan yang saya nantikan.” [2]
Lebih umum dari skenario yang terjadi lewat peristiwa yang dialami oleh Ern Baxter diatas, adalah situasi-situasi yang terjadi akibat dari kurangnya pengetahuan dan kecenderungan untuk menyederhanakan konsep kekudusan.
- Sama sekali tidak akan pernah mengendarai mobil lebih dari batas kecepatan.
- Berbicara dengan hangat dan lembut pada setiap sales yang menelepon rumah anda.
- Mengindari semua kalori yang tidak dibutuhkan.
- Tidak pernah memukul jam weker anda ketika ia membangunkan anda.
- Senantiasa membayar pajak penghasilan anda dengan sukacita.
Waktu saya baru menjadi orang percaya, saya berjumpa dengan seorang pria muda bernama Greg, mengaku menjadi seorang perampok dan pengguna obat terlarang yang sepertinya bertobat waktu di dalam penjara. Pegangan hidup Greg dalam menjalani kehidupan kekristenan sangat memukau diri saya. Ia membawakan dirinya dengan keyakinan penuh dan sedikit keangkuhan. Ia berbicara seakan-akan dosa itu bukan menjadi suatu masalah lagi baginya. Lebih dari sekali dia mengatakan kepada saya betapa ia sudah “diselamatkan, disucikan, dan dipenuhi oleh Roh Kudus.”
—Adrian Rogers
Kekudusan itu sifatnya pasti (terjadi saat kita bertobat) dan progresif (terus berlangsung). Semua ini tidak terjadi pada sekali waktu di masa lalu, dan bukan juga suatu hal yang akan terjadi secara bertahap. Kita sudah diubahkan dan kita sedang berubah. Tanpa mengesampingkan keberhasilan pendaratan kita di Normandy, marilah kita bijak dan realistis saat menilai adanya oposisi yang ada diantara kita dan Berlin. Kita tidak punya pilihan yang memungkinkan kita untuk mendapatkan tiket naik ke dalam kereta pengudusan, seperti yang Greg yakini. Hal itu akan menjadi suatu pertandingan di setiap langkah kehidupan kita.
Setimpal dengan Usahanya
Bagi beberapa orang, “pengudusan” adalah suatu istilah teologis yang sering didengar, namun jarang dimengerti. Kedengarannya itu adalah suatu hal yang cocok untuk mahasiswa teologia dan kurang praktis untuk kehidupan sehari-hari. Namun sebaliknya, hal itu adalah suatu hal yang sangat amat praktis, dan bisa dikaitan dengan kehidupan keseharian. Doktrin mengenai pengudusan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh hampir seluruh orang Kristen di dalam sejarah gereja.
Bagaimana saya bisa berubah?
Bagaimana saya bisa bertumbuh?
Bagaimana saya menjadi serupa dengan Kristus?
Bagaimana saya bisa tidak terperangkap di tengah?
Apapun yang bisa menjawab pertanyaan itu akan mengharuskan kita untuk melakukan beberapa usaha. Lampiran A (halaman 93) menunjukkan bahwa beberapa cabang gereja sudah membicarakan masalah ini di masa lalu, namun mari kita lihat apa yang bisa kita pelajari mengenai aplikasi dari doktrin yang penting ini pada masa kini.
Arti Alkitabiah dari kata menguduskan (menyucikan) adalah “untuk memisahkan; mengkhususkan.” (Kesucian berasal dari akar kata yang sama dalam bahasa Yunani) Hal ini bisa diaplikasikan pada orang, tempat, situasi, atau benda tertentu. Ketika suatu hal dikuduskan, hal itu akan dipisahkan dari pemakaian pada umumnya dan didedikasikan untuk kepentingan khusus. Misalnya, pada jaman Musa, Hari Raya Pendamaian dikuduskan bagi Allah yang Kudus. Hari itu menjadi hari yang kudus. Sebuah hal yang dikuduskan tidak akan serta merta menjadi suci karena dipisahkan dari hal lainnya; kesucian yang didapat akan berasal dari untuk apa (atau kepada siapa) kah hal itu disucikan. Karena hanya Allah saja yang suci, maka hanya Dia-lah yang bisa mengimpartasikan kesucian.
Secara teologis, istilah “pengudusan” telah dipergunakan untuk menggambarkan proses yang dilalui oleh seorang percaya ketika Roh Allah sedang bekerja di dalam hidupnya untuk membuat dirinya semakin menyerupai Kristus. Prosesnya dimulai saat kita lahir baru, dan terus berlangsung sepanjang kita hidup. Hal ini ditandai dengan konflik keseharian seiring dengan usaha kita untuk mengalahkan dosa yang ada di dalam diri kita dengan anugerah dan kekuatan yang Allah berikan bagi kita. Camkan di dalam pikiran bahwa rasa bersalah yang didapat dari dosa sudah dihilangkan lewat pembenaran, sebagaimana yang dijelaskan oleh Anthony Hoekema; penyucian menghilangkan pencemaran akibat dosa:
Yang dimaksud dengan rasa bersalah adalah kondisi di mana kita layak mendapatkan penghukuman atau harus bertanggung jawab untuk menerima hukuman karena telah melanggar hukum Allah. Yang dimaksud dengan pembenaran, sebagai tindakan deklaratif Allah, adalah bahwa rasa bersalah akibat dosa dihilangkan atas dasar karya utama Yesus Kristus. Yang dimaksud dengan pencemaran adalah bahwa kita memiliki kecenderungan bawaan yang terjadi sebagai akibat dari dosa yang juga pada akhirnya menciptakan dosa lain lebih lanjut. Sebagai akibat dari kejatuhan Adam dan Hawa, kita semua lahir dengan kondisi seperti ini; dosa-dosa yang kita lakukan tidak hanya berasal dari kecenderungan kita untuk berdosa, namun juga menambah kecenderungan itu sendiri. Yang dimaksud dengan penyucian adalah kondisi dimana pencemaran yang didapat dari dosa sedang dalam proses (tahapan) pembersihan (walaupun hal itu tidak akan sepenuhnya dibersihkan sampai kita memasuki hidup baru di Surga).[3]
Alkitab juga mendefinisikan penyucian sebagai proses pertumbuhan menuju hidup yang saleh. Hidup yang saleh merujuk pada suatu kehidupan yang menunjukkan dedikasi kepada Allah, dan karakter yang muncul akibat dedikasi tersebut. Hidup yang saleh melibatkan kasih terhadap Allah dan kerinduan akan Allah.[4] Selain itu juga mengandung rasa takut akan Allah, yang menurut John Murray adalah “jiwa dari hidup yang saleh”. [5] Karena telah ditebus dari ancaman hukuman kekal, orang Kristen menyatakan rasa takutnya kepada Allah dengan memfokuskan diri tidak kepada murka Allah, tapi kepada “kemuliaan, kekudusan dan keagunganNya...”. ”[6] Rasa takut akan Allah mempunyai dampak yang baik bagi hati kita, dimana rasa ini akan memurnikan hati kita, dan juga hal ini adalah syarat apabila kita hendak menjalin hubungan yang lebih intim dengan Allah.
Hidup yang saleh melibatkan lebih dari sekedar unsur moralitas atau tindakan fanatik. Hal tersebut berasal dari kesatuan dengan Kristus dan hasrat untuk memuliakanNya. Seorang yang saleh akan berkeinginan untuk menjadi seperti Tuhan-nya juga ingin untuk menyenangkan hatiNya. Ia ingin merasakan apa yang dirasakan olehNya, memikirkan apa yang dipikirkan oleh Tuhan-nya melebihi dirinya sendiri, dan melakukan apa yang menjadi kehendakNya. Secara singkat, orang seperti ini ingin menjadi seseorang yang memiliki karakter Allah, sehingga Allah bisa dimuliakan lewat hidupnya. Tidak ada hal lain yang layak diperjuangkan sepanjang hidup kita: “Latihan badani terbatas gunanya, tetapi ibadah itu berguna dalam segala hal, karena mengandung janji, baik untuk hidup ini maupun untuk hidup yang akan datang” (1 Timotius 4:8).
Baik Allah maupun manusia memegang peran penting dalam konteks penyucian. Allah, dengan anugerahNya, memulai karya penebusan di dalam kita dan memberikan keinginan serta kuasa untuk mengalahkan dosa. Sebagai respon sekaligus sambil bersandar pada anugerahNya, kita menaati perintah Alkitab : “karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya. Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan” (Filipi 2:12-13)
— J.I. Packer
Di dalam Perjanjian Baru, posisi dari hidup kudus itu berada pada titik tengah antara legalitas di satu sisi, dan lisensi di sisi lainnya. Semua tradisi gereja yang terlalu menitik beratkan pada karya Allah di dalam kita tanpa menaruh pengharapan bahwa karya itu akan menghasilkan suatu hasrat yang terus bertambah di dalam diri kita untuk menuju suatu kesalehan hidup, akan cenderung menuju ke arah lisensi. “Karena, seperti yang telah kerap kali kukatakan kepadamu, dan yang kunyatakan pula sekarang sambil menangis, banyak orang yang hidup sebagai seteru salib Kristus. Kesudahan mereka ialah kebinasaan, Tuhan mereka ialah perut mereka, kemuliaan mereka ialah aib mereka, pikiran mereka semata-mata tertuju kepada perkara duniawi” (Filipi 3:18-19). Di lain pihak ada juga pihak yang terlalu menitik beratkan pada porsi manusia sehingga mereka menyimpang dari kebenaran Allah dan berakhir pada prinsip legalitas. (Tentu saja seluruh hal ini mempunyai kadar yang bervariasi).
Bagaimana Meraih Kesempurnaan
Satu pertanyaan yang umum diucapkan oleh orang Kristen adalah, “Sejauh mana saya bisa berharap pada proses penyucian ini? Apakah pada akhirnya saya bisa benar-benar bebas dari dosa?” Jenis pertanyaan ini akan menjadi relevan terutama ketika kita membaca pernyataan seperti yang disampaikan oleh Paulus kepada jemaat di Filipi: “Karena itu marilah kita, yang sempurna, berpikir demikian. Dan jikalau lain pikiranmu tentang salah satu hal, hal itu akan dinyatakan Allah juga kepadamu” (Filipi 3:15). Bahkan Yesus menyampaikan hal itu lebih gamblang di ayat yang sudah disebutkan sebelumnya: “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Matius 5:48).
- Arti dari kata “menguduskan (menyucikan)” adalah “menajiskan, memisahkan” B S
- Proses penyucian dimulai saat kita lahir baru, dan terus berlangsung sepanjang kita hidup. B S
- Rasa bersalah yang didapat dari dosa sudah dihilangkan lewat pembenaran B S
- Hidup yang saleh hanya memiliki arti yang berkaitan dengan unsur moralitas atau tindakan fanatik seseorang. B S
- Hanya Allah yang bertanggung jawab terhadap proses penyucian kita. B S
Apakah Allah sungguh berharap supaya kita mencapai tahap kesempurnaan?
Keinginan untuk menjadi sempurna sudah menginspirasi banyak orang untuk mencari Allah. Di sepanjang sejarah manusia, banyak penulis puisi dan filosofer yang mengekspresikan keinginan untuk mencapai kembali kesucian hidup. Penulis lagu kontemporer Crosby, Stills, dan Nash merayakan pengalaman Woodstock dengan lagu yang berlirik, “Kita adalah debu bintang-bintang, kita ini berharga, kita terjebak di dalam penawaran iblis. Dan kita harus mencari cara kembali ke Taman (Surga).” Masalahnya, kita semua tahu kalau kita ini jauh dari kesempurnaan. Dalam dunia khayal perfilman, Mary Poppins bisa saja dengan riang menyatakan bahwa dia adalah “sempurna di segala hal,” namun di kehidupan nyata, hal itu tidak mungkin terjadi. Dan tentu saja kita tidak bisa menjadi sempurna lewat metode Woodstock.
— Sinclair Ferguson
R.A. Muller menyatakan bahwa Alkitab jelas menyatakan bahwa kita harus menjadi sempurna, namun pada saat yang bersamaan memberikan bukti bahwa kesempurnaan penuh itu tidak bisa dicapai di dalam hidup ini. [7] Hal ini menghantarkan kita pada titik dilematis. Kita tidak bisa secara bebas mengangkat tangan dan mengakui kekalahan. Namun kita juga tidak bisa memiliki mentalitas ‘over pede (percaya diri)’ berkaitan dengan konsep kesempurnaan, yang lebih umum ditemukan di dalam konteks metode berpikir positif daripada yang ada di dalam Alkitab. Satu-satunya cara untuk memecahkan dilema ini adalah dengan menyadari bahwa Perjanjian Baru melihat konsep kesempurnaan dalam dua cara. [8]
Pandangan Paulus tentang jemaat Filipi adalah kedewasaan, bukan ketidak-bercelaan. Perhatikan bagaimana Alkitab versi New International Version menerjemahkan perkataannya kepada gereja di Filipi:
“Setiap dari kita yang sudah dewasa harus memiliki kecenderungan yang sama dalam berbagai hal” (Fil 3:15). “Kesempurnaan” dalam hal ini bisa lebih tepat didefinisikan sebagai “mereka yang sudah menunjukkan perkembangan berarti dalam hal spiritualitas dan keseimbangan hidup”
Adalah suatu hal yang alamiah apabila semua anak mau untuk bertumbuh dengan sempurna. Ini juga berlaku bagi orang percaya. Daripada mengambil pendekatan jalan pintas dan prinsip mencoba-coba dalam mencapai pertumbuhan, kita seharusnya membiarkan panggilan untuk menjadi sempurna itu mendorong kita untuk masuk ke dalam proses pencarian yang serius mengenai bagaimana caranya supaya kita menjadi seperti Yesus. Contoh dari Paulus sendiri seharusnya mampu menjadi contoh bagi kita semua:
— Hugh Latimer
Kita melihat pengulangan kata sempurna di dalam surat Paulus yang pertama kepada jemaat di Korintus. “Tetapi jika yang sempurna tiba,” katanya, “maka yang tidak sempurna itu akan lenyap” (1 Korintus 13:10). Dalam konteks ini, sempurna adalah istilah yang diberikan secara khusus pada Allah Bapa– sebuah konsep kesempurnaan yang tidak akan bisa ditemukan sampai Kristus datang. Teolog Louis Berkhof lebih cenderung untuk membicarakan kesempurnaan-kesempurnaan Allah daripada kualitas karakteristikNya. .[9] Allah itu benar-benar tak bercacat cela. Tidak peduli seberapa matangnya kita di dalam hidup ini, kita tidak akan pernah mencapai kesempurnaan sampai suatu saat Allah menyempurnakan kita di dalam kemuliaan.
Tujuh Alasan Untuk Menutup Celah
Pada umumnya, dunia sudah memiliki kesan negatif terhadap kesucian. Banyak pihak menyamakan hal itu dengan suatu hal yang suram, memikul salib tanpa adanya sukacita. Hal itu lebih dilihat sebagai suatu kondisi “lebih-suci-dari-kamu” sebagai suatu tindakan pembenaran diri sendiri, daripada melihat hal itu sebagai suatu pengalaman yang penuh sukacita. Sebelum kita menutup bagian ini, marilah kita menghilangkan pendapat demikian dengan melihat pada beberapa keuntungan dan berkat yang dapat kita peroleh dari tindakan mengikuti Kristus. Ini adalah tujuh buah dari penyucian (pengudusan):
Allah dipermuliakan. Ketika kita suci, kita semakin mempercayai bahwa Allah itu sungguh nyata dan menakjubkan seperti yang dinyatakan sendiri olehNya. Paulus menyatakan bahwa pekerjaan-pekerjaan baik yang dilakukan oleh orang Kristen memperindah doktrin mengenai Kristus (Titur 2:10). Bahkan mereka yang menolak Allah akan dipaksa untuk mengakui keberadaanNya ketika para pengikutnya berjalan di jalanNya.
Hubungan berkelanjutan dengan Allah Bapa di dalam hidup ini. “Jika seorang mengasihi Aku,” kata Yesus “ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia” (Yohanes 14:23). Merupakan suatu sukacita dan ketenangan yang luar biasa apabila kita mengalami hadirat Allah dan Anak melalui Roh kudus. Dan Yesus menandakan bahwa hadirat ini adalah suatu hadirat yang dipenuhi dengan kasih, bukan dengan nuansa yang dingin. Tentu saja, bersamaan dengan kehadiranNya akan datang juga kuasaNya, yang memampukan kita untuk mengalahkan tantangan-tantangan di dalam hidup kita.
Persekutuan dengan orang percaya lainnya. Apabila kita berjalan di dalam kegelapan, kita tidak bisa menikmati persekutuan yang tulus dengan sesama orang percaya. “Tetapi jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain, dan darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari pada segala dosa” (1 Yohanes 1:7). Allah berjanji untuk melengkapi kita dengan belas kasihan, hai rekan-rekan seperjalanan yang sedang menjalani jalan menuju penyucian. Bagi saya pribadi, saya menemukan bahwa kebenaran Allah ditambah dengan contoh-contoh para pelayan Allah lainnya adalah suatu hal yang penting bagi pertumbuhan spiritual saya. Dan selama saya berjalan di jalanNya, saya tidak pernah kekurangan keduanya. Kita saling membutuhkan satu sama lain (dalam konteks gereja) apabila kita hendak berhasil. Kekudusan dan komunitas Kristiani akan saling melengkapi satu sama lain.
'K'eyakinan akan keselamatan. Walaupun keselamatan kita tidak didasarkan pada usaha kita untuk mencapai kekudusan, keyakinan akan keselamatan cenderung untuk berkaitan dengan kekudusan hidup. Di dalam surat Petrus yang kedua, Petrus menggugah para pembaca untuk sungguh-sungguh berusaha senantiasa mengumpulkan karakteristik spiritual, menambahkan kepada iman kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan, dan kepada pengetahuan penguasaan diri, kepada penguasaan diri ketekunan, dan kepada ketekunan kesalehan, dan kepada kesalehan kasih akan saudara-saudara, dan kepada kasih akan saudara-saudara kasih akan semua orang yang dimiliki secara berkelimpahan (2 Petrus 1:5-9). Dia mengingatkan bahwa apabila ada yang tidak memiliki semuanya itu, maka ia akan lupa .... ... bahwa dosa-dosanya yang dahulu telah dihapuskan. Karena itu, saudara-saudaraku, berusahalah sungguh-sungguh, supaya panggilan dan pilihanmu makin teguh. Sebab jikalau kamu melakukannya, kamu tidak akan pernah tersandung. Dengan demikian kepada kamu akan dikaruniakan hak penuh untuk memasuki Kerajaan kekal, yaitu Kerajaan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus. (2 Petrus 1:9-11)
Pengabaran Injil. Sebagai seorang muda yang masih dibawah pengaruh dosa, saya mencoba sebisa saya untuk menemukan kesalahan-kesalahan di dalam hidup orang percaya supaya saya bisa menolak pesan yang mereka sampaikan dan mencap mereka sebagai orang munafik. Namun walaupun mereka tidak sempurna, tapi saya tidak bisa menemukan ketidak-konsistenan yang tergolong fatal. Sebuah keluarga besar yang menjangkau saya dengan Injil lebih memberikan pengaruh kepada saya lewat gaya hidup mereka daripada dengan perkataan-perkataan yang diucapkan. Sang suami mengasihi istrinya, sang istri menghormati suaminya, anak-anak menaati orang tuanya, dan mereka semua sangat bersuka cita. Saya tidak pernah melihat hal seperti itu.
Sudah disampaikan bahwa meskipun dunia mungkin tidak membaca Alkitab, tapi dunia membaca orang-orang Kristen. Allah menggunakan orang-orang kudus untuk menjangkau orang lain. Bukan orang yang sempurna, namun kudus.
Pemahaman, kebijakan, dan pengetahuan. Harta-harta inilah yang akan diperoleh mereka yang mencari Allah dengan sepenuh hati (Amsal 2:1-11). Mereka terlindungi dari para penghujat, pemberontak, dan para orang bodoh.
Melihat Allah. Alkitab menyatakan, “Berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat Tuhan” (Ibrani 12:14). Meskipun arti sebenarnya dari pasal ini masih dilingkupi oleh misteri, tapi Alkitab bisa memberikan gambaran mengenai “Penglihatan yang Menakjubkan,” atau melihat Allah. Hal itu akan terjadi ketika Tuhan datang kembali, ketika semua musuh sudah dikalahkan dan kita semua sudah disucikan dengan sempurna. Pada saat itu, penglihatan kita mengenai Allah akan berkelanjutan dan intens, tanpa distraksi atau tindakan yang berfokus pada ke ‘aku’ an akibat dari dosa. Bukan berarti pengetahuan kita akan Allah akan menjadi sempurna, karena Ia akan terus menyatakan diriNya lebih dan lebih lagi.
—Yesus (Matius 5:8)
“Berbahagialah orang yang suci hatinya, “ kata Yesus, “karena mereka akan melihat Allah” (Matius 5:8). Penyataan akan kebesaran dan kebaikanNya adalah hal terindah yang bisa kita dapatkan apabila kita menjalani hidup kita dengan penuh kekudusan.
Seperti yang sudah anda lihat, ada banyak alasan baik yang dapat menggugah kita untuk menutup celah antara harapan Allah akan diri kita, dan pengalaman kita pribadi. Kita diciptakan untuk turut ambil bagian dalam kekudusanNya-bukan hanya di surga, namun juga di bumi. Selangkah demi selangkah, kita bisa belajar untuk mengalahkan dosa dan hidup dengan cara yang semakin lama semakin memancarkan kemuliaan dan karakter Allah.
Di dalam bab pertama, kami sudah mencoba untuk menarik minat anda pada kesalehan hidup. Dimulai dari bab kedua, kami akan membangun kerangka Alkitabiah yang dibutuhkan untuk mendukung suatu kehidupan yang kudus- dan penuh sukacita.
Diskusi Kelompok
1. Apa gejala-gejala yang menandakan seseorang sedang terperangkap di tengah?
2. Celah antara standar-standar Allah dan perilaku kita sendiri tidak bisa dihindari; namun terlalu berlebihan apabila kita menamakan diri kita munafik. Di mana kita bisa menarik garis untuk membedakan keduanya?
3. Bagaimana menjelaskan hubungan antara penyucian diri kita dengan sejarah masa lalu dan harapan di masa depan?
4. Rasa takut akan Allah, menurut penulis, adalah suatu “syarat untuk mencapai keintiman rohani dengan Allah.” (Hal. 7) Apa maksudnya?
5. Sejauh mana seorang kristen yang dewasa rohani bisa bebas dari dosa?
6. Sekarang setelah anda selesai membaca bagian ini, bagaimana anda akan menjelaskan Matius 5:48 kepada orang yang baru percaya?
Bacaan Yang Direkomendasikan
How to Help People Change 'by Jay E. Adams (Grand Rapids, MI: Zondervan Publishing House, 1986) Saved by Grace by Anthony A. Hoekema (Grand Rapids, MI: Eerdmans Publishing Co., 1989)
Referensi
Cite error:
<ref>
tags exist, but no <references/>
tag was found